Mahatma Gandhi mengatakan; jika hutang mata dibalas mata akan bikin dunia buta. Memaafkan adalah satu hal, dan (tidak) melupakan adalah hal lain.
Sebuah tawar menawar dengan hati dalam sebuah rekonsiliasi
Jika mata dibalas dengan mata, dunia akan jadi buta. Jika maaf dikedepankan, dunia tetap indah kendati hanya dinikmati satu mata yang tersisa.
Permaafan dalam paragraf di atas menawarkan harapan bahwa maaf yang tulus memungkinkan siapa saja yang kehilangan mata (karena kesalahan orang lain) masih bisa menikmati indahnya dunia melalui satu mata yang masih tersisa. Tak terbayangkan jika hilangnya sebiji bola mata harus dibayar lunas dengan sebiji bola mata juga. Akan muncul ritus pembalasan dendam dengan dua hal sebagai kemungkinan
akhirnya: (1) bertambah lagi satu orang yang kehilangan mata atau (2) yang bersangkutan kehilangan sisa matanya sehingga dunia sungguh-sungguh akan menjadi gelap gulita.
Tapi maaf kadang tak sesederhana pengucapannya, sebab terdapat banyak kesalahan yang berasal dari jenis yang serius, tergolong berat atau bahkan maha-berat. Keberadaan kesalahan macam itulah yang memungkinkan lahirnya istilah: kesalahan yang tak termaafkan.
Persoalannya: benarkah ada jenis kesalahan yang tak termaafkan?
Saya kurang yakin ada jenis kesalahan yang sungguh-sungguh tak termaafkan. Bagi sebagian orang, kekasih/pasangan yang berkhianat tak bisa dimaafkan. Nyatanya, tak sedikit orang yang bisa memaafkan kesalahan demikian. Ada orang yang menganggap pembunuhan sebagai kesalahan yang tak termaafkan. Tapi, ternyata ada juga keluarga yang perlahan tapi pasti akhirnya bisa memaafkan orang yang telah membunuh anggota keluarganya.
Jika ada orang yang ternyata sanggup memaafkan kesalahan-kesalahan demikian, artinya kesalahan itu sebenarnya memang bisa dimaafkan. Jika tak bisa dimaafkan, pastilah tak ada satu pun yang bisa memaafkan jenis kesalahan demikian. Nyatanya ada orang yang bisa memaafkan. Sederhananya, bisa dimaafkan atau tidak bukanlah ditakar dari jenis kesalahannya, tapi bergantung pada sanggup tidaknya pihak yang terlukai untuk memberi permaafan.
Tapi kenapa masih saja ada –akan selalu ada– permintaan maaf yang bertepuk sebelah tangan?
“Ente sih enak aja bilang maaf, soalnya gak ngalamin sendiri macam mana sakitnya. Coba kalo ente ngalamin sendiri….” begitu biasanya orang-orang membangun benteng pertahanan tiap kali diberi pilihan untuk memberi maaf. Alih-alih mencoba menjajal kemungkinan-kemungkinan baru, mereka lebih memilih mencari pembenaran atas pilihannya untuk terus menerus memersoalkan masa silam, bahkan mencoba meminta permakluman pada siapa saja ihwal pilihannya itu.
Barangkali memang benar luka yang terperam itu sungguhlah menganga lebar dan tak tersembuhkan. Tapi kita tak mungkin hidup dengan terus dikangkangi masa lalu, melulu dibayang-bayangi peristiwa yang terjadi pada masa silam. Sejarah tak mungkin terbarukan. Ia sudah terjadi, hanya sekali terjadi, dan tak mungkin diperbaiki, begitulah memang adanya. Ein malig, kata orang Jerman.
Mereka baru bisa lega jika orang yang telah melukainya merasakan pula seperti apa ganasnya luka, tak jadi soal jika pembalasan itu dilakukan orang lain atau oleh tangan mereka sendiri. Di sini, tak ada yang berubah, tak pula ada yang bergerak maju. Yang ada cuma pergantian peran: pelaku menjadi korban dan korban menjadi pelaku. Teori “siklus kekerasan” yang diperkenalkan oleh Dom Helder Camara, seorang teolog berhaluan “kiri” dari Brazil, dibangun berdasarkan situasi di atas.
Sementara jika korban tak sanggup atau tak berani untuk membalas dendam, ia niscaya akan menghabiskan hidupnya dengan dendam yang tak tersembuhkan.
Ini jenis kesakitan ganda: luka lama belum/tak tersembuhkan, datang pula kesakitan baru, yang bernama dendam tak terpulihkan, yang akan terus dibawa hingga tua, sampai entah kapan ujungnya. Menanggung dendam yang tak terbayarkan (karena tak sanggup/tak berani membalaskannya) adalah sejenis rasa sakit yang sukar dicari penawarnya. Ia adalah siksaan yang bisa membuat hidup menjadi sukar ditanggungkan, menjadikan sisa usia tak ubahnya seperti besi yang berkarat.
Cara termudah untuk mengatasi dendam adalah dengan melupakannya. Masalahnya, benarkah lupa bisa membebaskan kita?
Saya, lagi-lagi, tidak begitu yakin. Bukan hanya karena mustahil bisa melupakan dendam dengan begitu saja, tapi lebih karena lupa membuat manusia kehilangan momentum untuk terus belajar dari kesalahan-kesalahan yang pernah dibuat pada masa silam, entah dilakukan oleh orang lain atau diri kita sendiri. Ya, lupa sebagian akan membuat kita terbebas dari masa lalu, tapi sebagiannya lagi membuat kita kehilangan cermin untuk belajar.
Di titik inilah, permaafan menjadi jalan paling sehat untuk memperlakukan masa silam yang perih. Tapi, permaafan saja tidak cukup, sebab ia mesti diikuti oleh laku yang lain yaitu “mengingat”. Ya, memaafkan tanpa melupakan.
Dengan memaafkan, masa silam tidak lagi terus-menerus digugat dan dipersoalkan, tapi dikhidmati kehadirannya dengan hati yang lapang. Dengan mengingat, masa silam tidak pula disangkal apalagi diingkari, tapi justru dijadikan cermin, semacam kaca benggala, di mana semua orang bisa melihatnya kembali tiap kali butuh kearifan dan kebijaksanaan. Lagi pula, jika kita lupa masa silam, itu artinya memang tidak ada yang perlu dan bisa dimaafkan. Bukankah maaf selalu berkaitan dengan tindakan yang terjadi di masa silam? Apa yang harus dimaafkan jika kita sendiri amnesia?
Kesediaan memberi maaf tentu saja tidak bisa dipaksa. Ia juga tak mungkin diharapkan muncul seketika. Butuh waktu yang kadang tak pendek.
Simaklah dengan apa permaafan dipasangkan oleh Nelson Mandela. Sewaktu berbicara tentang mimpi membangun Afrika Selatan yang indah, Mendela menyebutkan dua hal yang bisa membuat impian itu tercapai. Dua hal itu, kata Mandela, “Dinamai ‘kebaikan hati’ dan ‘permaafan’.”
Tidak ada yang bisa menyangkal jika kesanggupan memberi maaf sebagai suatu kebaikan hati. Ia bisa sama baiknya dengan memberi sedekah: sebab bagi orang yang dengan sungguh hati meminta maaf, pemberian maaf sama pentingnya dengan derma beberapa biji kurma bagi yang benar-benar kelaparan.
Ia juga bisa sama vitalnya dengan pengampunan yang datangnya dari Tuhan: sebab –-dalam Islam—kesalahan pada sesama manusia baru bisa diampuni Tuhan jika orang yang di/terlukai sudah lebih dulu memberikan maaf.
Jadi, berikanlah maaf, bahkan kendati yang bersangkutan tak memintanya. Dengan itu, kita sudah “membantu” Tuhan untuk merealisasikan sifatnya sebagai Zat yang Maha Pengampun. Jarang-jarang, bukan, kita bisa “membantu” Tuhan?
.